Sabtu, 02 Agustus 2008

Motivasi


Budaya adalah keyakinan yang terdemonstrasikan,yang terjadi dalam proses yang complex. Budaya tidak dapat diimpor dari para motivator, para da'i atau para orator. BUdaya konon muncul dari keyakinan, sedangkan keyakinan muncul karena proses pembelajaran, bahkan wahyu para nabi-pun dari proses yang berangsur-angsur karena dijalankan dan diuji.
Akhir-akhir ini booming2nya training atau ceramah motivasi,dengan berbagai keunggulan yang ditawarkannya. Namanya juga jualan, mirip dengan cerita seorang yang bikin iklan di koran, "Anda pengin kaya?" dengan diberinya syarat, mengirimkan uang jumlah tertentu untuk mendapatkan resep ABCD meraih kekayaan, dan si pengirim menuliskan alamat untuk mendapat balasan paket resep. Lalu apa yang diterima si pengirim uang? Ternyata sebuah resep singkat :"Lakukan seperti apa yang saya lakukan". ANalogi dengan para penceramah itu, letak kunci bukanlah di siapa yang menjadi penceramah, atau materi apa yg diceramahkan. Karena semua intisari dari semua itu sudah ada di map rapi di laci kita semua, dan sudah selalu kita hapalkan sejak semula. Seperti menghapal Pancasila bahkan butir-butirnya. Sudah kita tahu rumus bagaimana seharusnya kita jualan, sudah juga kita tahu rumus bagaimana seharusnya trouble shooting, sudah juga kita tahu rumus bagaimana kita seharusnya melayani, sudah juga kita tahu rumus bagaimana seharusnya mendisain suatu bisnis dan alat produksinya. Rumus2 yang jauh2 hari sudah kita hapal dan makin hari makin hapal kerena diingatkan oleh para motivator dan penceramah itu. Lalu mengapa keadaan juga belum banyak berubah? Karena hukum sejarah kehidupan, bahwa perjuangan adalah perwujudan kata-kata. Dan untuk mewujudkan itu harus kita pecahkan hukum kelembaman. Keadaan akan terus diam normal sampai sebuah energi memulai sebuah aktifitas, ikhtiar yang berkolaborasi dengan percepatan dan sekali-kali gravitasi. Ya, memang tidak ada pilihan lain :Keluar dari zone nyaman, breaking the "law"(norma), "revolusi berpikir", zig-zag melintasi garis normal, bertualang, mengalahkan rasa takut, rasa malas, rasa ewuh pekewuh, menerjang kabut, dan tentu semua tetap dengan perhitungan "safety prosedur". Si penerjun payung tahu resiko bila payung tidak mengembang, lalu disiapkannyalah payung cadangan. Si pengarung jeram tahu resiko derasnya riam yg menyimpan undercut atau hidrolik, itu sebabnya dia belajar berenang, memakai pelampung dan helm. Si penempuh rimba dan pendaki gunung mempersiapkan perbekalan, skill navigasi darat, survival dll untuk bertahan hidup dalam penjelajahnya. Semua pergerakan keluar dari "kotak normal" harus disiapkan safety prosedurnya, how to survive, kalau pun terjadi kecelakaan bagaimana ERP (Emergensi Rescue Prosedur) atau pelolosannya. Lalu dengan dengan segala pernak-pernik itu, pada akhirnya tetap saja kembali ke mentalitas kita, apakah kita mau keluar dari zona nyaman? zone biasanya? zone normal?
Kembali kepada para motivator tadi, akan dikembalikan juga kepada pribadi kita masing2. Lalu apa artinya? Toh salah satu masalah besar yg terjadi di tanah air sejak reformasi 98 itu adalah ketika segala sesuatu dikembalikan kepada hatinya nurani. Yang jelas berbeda-beda itu. Lampu merah boleh jadi ijo asalkan hati nurani bilang ijo. Profesionalisme juga dikembalikan kepada hati nurani, mau biasa-biasa boleh, mau agak ngeden juga boleh, mau leyeh-leyeh sementara temen2nya nggak bisa tidur karena kelakuan kita juga boleh. Karena hati nurani tidak punya standard. Give the best cuma jadi tempelan bisu di meja yang tertindih tabloit selebritis. Lalu sebenarnya budaya seperti apa yang kita agamakan di tengah badai dan pertempuran yang berkecamuk mengenai kapal kita? Prahara atau turbulensi, pada akhirnya akan menjadi seleksi alam, bagi tiap individu atau komunal. Penting artinya membuat diri kita dan lingkungan terkecil kita menjadi sadar, handal, peduli, kuat & survive. Individu, regu, peleton,kompi, batalyon dst. Bergegas, tanah air --lewat ladang2 kita, menunggu karya-karya terbaik kita, yang sayang sekali minta syarat, untuk masing2 kita mulai menggulirkan budaya yang kita maui untuk cita-cita hari esok dan terpaksa meninggalkan kisah2 heroik & romantisme masa lalu kita yang selalu kita dengung-dengungkan dan kita mintakan hak.




2 komentar:

Elita mengatakan...

Two Thumbs Up!Saya tertarik sekali dengan tulisan ini, bagaimana tidak? karena bisa membuat saya membatin" Iya...ya, tepat sekali". tidak sedikit pernah ikut pelatihan yang seputaran motivasi. Panas dan terbakarnya ketika di saat itu saja karena dikemas sedemikian rupa. Boleh dikatakan pelatihan yang mahal2 itu agak gagal untuk melakukan perubahan yang saya harapkan. Bicara masalah motivasi memang bukan barang baru, tapi tentu tidak usang dimakan waktu.Motor penggerak yang bisa membuat seseorang menjadi bergairah untuk melanjutkan kehidupan dan berprestasi lebih baik dari waktu ke waktu. Saya lantas ingat, setiap orang memiliki tingkatan motivasi yang berbeda, kalau boleh meminjam teorinya Maslow yang sangat tua.Motivasi ada karena adanya sebuah kebutuhan mulai dari pemenuhan kebutuhan biologis, naik sedikit, rasa aman, cinta, harga diri dan yang paling atas aktualisasi diri. Tentunya orang-orang yang memiliki motivasi yang semakin tinggi, semakin pula sedikit orangnya. Barangkali hanya orang-orang yang terpilih saja. Sebut saja contohnya Bung Karno, Mahatma Gandhi, Mother Theresia, dll. Mereka adalah orang yang bisa dikatakan orang yang rela untuk menderita, keluar dari zona nyaman, mengurangi waktu tidur untuk dapat berbuat sesuatu yang penuh arti. Motivasi tentunya perlu dibentuk dan terinternalkan dalam diri seseorang,selain itu yang dibutuhkan adalah atmosfer/lingkungan/momentum yang bisa menjadi triggernya. Apalah artinya ikut AMT,ESQ, dll kalau ternyata di lingkungan nyata, arus utama yang melenakan terlalu deras sehingga ikut terhanyut lagi dalam budaya lama. Saya pikir penting untuk membentuk budaya, entah di organisasi atau di dalam keluarga sekalipun, dimana menciptakan kondisi sedemikian rupa orang-orang yang ada di dalamnya di bawah tekanan (agak). Berikan perlakuan pada sisi psikologisnya dengan memberikan sedikit rasa takut, agak cemas akan kekurangan dan kehilangan alias untuk menghindarkan mereka dari zona nyaman. Karena pada prinsipnya, setiap orang tidak enak dalam situasi demikian, sehingga ia akan berusaha untuk mencari cara untuk memperoleh keseimbangan yang baru. Paling tidak berusaha menginternalisasikan budaya baru yang bisa menjadi motor untuk berbuat sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat.

Artika sari mengatakan...

Banyak hal yang bisa membangkitkan motivasi,baik dari internal factor maupun external factor.
bila terdapat sesuatu faktor pendukung yang mampu membangkitkan motivasi saya dalam mengerjakan
sesuatu, saya merasa mendapat luapan energi yang berlimpah limpah.
meski untuk hal yang paling klise sekalipun