Jumat, 15 Agustus 2008

Revolusi layanan kabel tembaga, sebuah narasi


Masih sangat lekat dalam ingatan kami awal mula bergelut dalam dunia kerja telco ini. Seorang fresh graduate yang segera saja menjadi greenhorn di antara para piawai pekerjaan ini. Nasib juga yang menggariskan sejak awal harus berkutat dengan sepasang kabel tembaga, sedikit "kurang beruntung" bila membanding-bandingkan diri dengan rekan2 yang mendapat tempat "di dalam", meski sama2 orang baru. Mungkin tidak banyak yang "seberuntung" saya yang sempat menjadi "tenaga storingan" gangguan luar, pasangan ganda saya pertama adalah senior saya Suwardiyo yang sepertinya saat ini sudah masa persiapan pensiun, dengan ranmor toyota hiace station yang dipaksakan membawa tangga bambu, dan sesekali bibir atau lidah harus mencicipi kesetrum pairgain yang DC ~ 180 V itu di atas tiang. Memang sesekali "derajat" pekerjaan meningkat, menangani pekerjaan semacam sentral telepon kecil dengan berbagai nama & bentuk, FRK, RDLu dll. Tapi lagi-lagi masih saja saya membathin, merasa kurang beruntung, mengapa memperoleh garis pakerjaan yang "kotor" dan -tanpa pernah secara terbuka- dinyatakan low skill, warga negara kelas dua dan otomatis minim peminat.
Musim berganti, dan tempurung yang menutup katak-pun terangkat terpaan angin laut cina selatan. Sejarah, psikologi, harapan dan sifat dari sebuah ras yang berdekatan biasanya akan mirip2. Lalu baru sempat kita serius melongok ke negara tetangga kita, sesama ras asia. Revolusi layanan rupanya sudah ada di sana, dimana sepasang kabel tembaga yang saat ini hanya mendorong layanan telephoni di tanah air, telah pula melewatkan layanan data dan internet. Revolusi dimulai, ketika kami bergabung bersama tim yang hebat di Yogyakarta, lintas batas, lintas sektoral. Ya, bukankah tidak mungkin memulai sebuah revolusi dengan mengedepankan sekat-sekat sektoral? Semangat mengexplorasi dari personel-personel tim lah yang akhirnya mengkatalis bergulirnya revolusi. Ya, lompatan budaya dari sepasang kabel tembaga dengan PPJT-nya, kepada Internet Protocol (IP), dan berbagai macam perangkat yang memancing minat explorasi, yang memang belum jelas demarkasinya kala itu. DSLAM, Modem ADSL, G.SHDSL, VPI-VCI, Metro Ethernet, Access Point, Wireless LAN, Agregator lan sak panunggalane. Dan benar saja sebuah paradoks, dimana ada kemauan yang kuat, di situlah ada jalan. Tangan2 usil tim kami menelorkan beberapa eksperimen seperti LAN Intanet via Speedy yang selanjutnya digunakan juga untuk UGM, IKIP & K-circle, TV via Speedy, overlay penggunaan transport metro-ethernet ataupun agregator untuk mendukung experimen2 tersebut dan beberapa keusilan yang justru bagi pihak "pemilik" diminta dihentikan karena mengandung dan mengundang bahaya intrusi, fraud dll. Ah biarlah, dan itu semua berujung kepada kekuatan kabel tembaga.
Angin bertiup kencang, dan para dewa mengirimkan surat.
Sampai juga pengembaraan ke tanah Andalas, salah satu sudutnya, dengan empat propinsi dalam pengelolaan teritorial. Dan kesempatan yang sangat besar yang tidak boleh disia-siakan. Kami mempunyai team work yang kehandalannya sudah tidak perlu diragukan lagi. Akhir tahun 2007 dan penggalan 2008 kemarin telah kita buktikan bersama, "hukum baru" bahwa alat produksi diinstall di lokasi demand (bukan sebaliknya). Ibarat para pejuang Special Air Service (SAS) Inggris, yang berjuang di belakang tabir malam, rekan-rekan tim relokasi alpro yang hanya berjumlah kurang dari jumlah 10 jari tangan kita bekerja siang dan malam untuk menyelesaikan lebih dari lima puluh titik dropping zone dalam tenggat waktu yang fantastis. Dan tetap di balik layar, raid senyap, metoda penggalangan dan menjalankan peranan dengan maksimal. Waktu terus berjalan dan inovasi-inovasi untuk survive dalam setiap tuntutan situasi pun bermunculan. Kami yakin sepenuhnya, bahwa bila suatu saat kita sudah tidak mendiami "kawah candradimuka" ini, masing-masing kami akan berdecak bangga, mengenangkan "kemustahilan" yang sudah kami tembus bersama. Kemustahilan kompetensi, kemustahilan geografi atau kemustahilan asumsi. Dan tetap kita ingat bahwa dalam memandang sepasang kabel tembaga pun, kita telah mengalami siklus yang pasang surut, dari waktu telepon kabel tembaga demikian berharga sebelum era seluler datang, yang banyak menciptakan raja-raja & amtenar (yang justru konon waktu itu dianggap masa pengabdian), lalu siklus lembah dimana penghargaan atas kabel tembaga terjun bebas ketika seluler mendominasi dan nampaknya selanjutnya siklus bukit kembali datang, ketika disadari bahwa investasi terhadap kabel tembaga begitu mahal, termasuk cost pemeliharaannya, yang seharusnya mendudukkan kembali copper acces sebagai premium produk, seperti sudah seharusnya. Dengan mengayunkan pendulum revolusi layanan, dan kami-pun telah menjelma menjadi merasa demikian beruntung, berada benar-benar di tengah "turbulensi" yang manual book-nya ada di saku kita.
63 tahun kemerdekaan republik ini, setidaknya kita pernah mencatatkan diri dalam sejarah, minimal menjadi sebuah sekrup kecil dalam mengkoneksikan 17845 (17-8-45) line in service Speedy dalam keranjang besar wireline copper acces di Sumatra Bagian Selatan ini, memang baru sedikit persen. Tapi bukan mustahil 50-60 persen akses tembaga kita akan menyambungkan layanan multiplay sampai to the home, sebagaimana terjadi di negara-negara maju tetangga kita, yang rupa-rupanya juga tetap mengekspor beras . Hanya saja butuh konsekuensi, kita harus mendefinisikan kita dalam sebuah tim yang super, seperti four man patrol SAS yang memenangkan pertempuran di Borneo, Darfur maupun Malvinas.
Dan waktu kembali bergulir, tanah air memanggil kita dengan tugas2 yang sepertinya tidak lebih ringan, tapi kita sudah sepakat meyakini untuk dapat mengatasinya. Telah pernah kita buktikan bersama bukan ?

Kita semua hidup dalam ketegangan, dari waktu ke waktu, serta dari hari ke hari, dan kita adalah pahlawan dari cerita kita sendiri. - Mary Mccarthy

Tidak ada komentar: